Senin, 23 Maret 2015

Peran Ganda Perempuan Dalam Keluarga: Reproduktif dan Produktif



PERAN GANDA PEREMPUAN DALAM KELUARGA:

REPRODUKTIF DAN PRODUKTIF

Sitti Nikmah Marzuki

Abstract :

The existence of repression against women making women were not considered equal to men. By limitation out and work can mean that women were not given the same opportunity to develop skills as men. How women in the absence of freedom for a career ranged only in three places: mattresses, kitchens, and wells. This means that women are not given the opportunity to learn and develop their intellectual abilities through work practices. The things done is about to wash clothes, bathe at the same time raising children, cooking and serving her husband. So this is where the practice of discrimination against women's time is eliminated.

Discrimination experienced then demanded women should perform his role in two aspects, in addition working at home to take care of the family also had to work outside the home to support the husband's income to be more prosperous. Working at house is not considered a profession because it does not make money. So women should have the dual role of reproductive and productive. Housework is not considered as work for economic reasons  and consequently the culprit is not rated to work. This needs to be clarified that the position of women in his work as housewives, whereas housewives workload is much longer than women who work outside the home.



Keyword : gender, peran ganda, reprodiksi dan produktif

PENDAHULUAN

Kehidupan bermasyarakat kaum laki dan perempuan memiliki peran gender yang berbeda. Terdapat perbedaan pekerjaan yang mereka lakukan dalam komunitasnya, dan status maupun kekuasaaan dalam masyarakat juga boleh jadi berbeda pula. Perbedaan jalan perkembangan peran gender dalam masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari lingkungan alam, hingga cerita dan mitos-mitos yang digunakan untuk memecahkan teka-teki perbedaan jenis kelamin.

Perempuan memiliki peran yang kompleks dalam kehidupan, biasanya perempuan memiliki peran kerja dalam reproduksi, melahirkan dan mengasuh anak. Di samping itu juga memiliki peran kerja ekonomi produktif dalam menopang ekonomi keluarga serta manajemen komunitas. Sebagaimana dikemukakan oleh Moser dalam Julia Cleves Mosse (2004: 37) bahwa kerja perempuan dalam reproduksi, ekonomi produktif, dan manajemen komunitas disebut tiga serangkai peran perempuan. Ini menunjukkan, perempuan memiliki peran ganda di samping harus melakukan pekerjaan rumah tangga atau domestik, juga memiliki peran pencari nafkah untuk meraih kesejahteraan

Peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan serta kesejahteraannya merupakan bagian penting dalam upaya peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas. Pembangunan nasional selayaknya memberikan akses yang memadai bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai hal, memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, serta turut mempunyai andil dalam proses pengendalian/kontrol pembangunan. Selain itu, pembangunan nasional harus memegang prinsip pemenuhan hak asasi manusia, yang salah satunya tercermin dalam pencapaian kesetaraan dan keadilan gender, serta hak-hak anak yang tidak terabaikan.

Peran perempuan di bidang ekonomi sudah menunjukkan adanya perbaikan, walaupun bila dibandingkan dengan laki-laki masih lebih rendah. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan mengalami sedikit peningkatan dari 48,6 persen (Sakernas, Februari 2006) menjadi 49,5 persen (Sakernas, Februari 2007) dan 51,3 persen (Sakernas, Februari 2008), sedangkan lakilaki 84,7 persen pada tahun 2006, 83,7 persen pada tahun 2007 serta 83,6 persen pada tahun 2008. Menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi per Agustus 2007, sekitar 79 persen dari total tenaga kerja yang bekerja di luar negeri adalah perempuan. Sebagian besar pekerja di sektor informal adalah juga perempuan. Pekerja-pekerja tersebut umumnya tidak memiliki perlindungan sosial sehingga menjadi sangat rentan terhadap tindak kekerasan, eksploitasi, diskiriminasi, dan bahkan diperdagangkan. Upah pekerja perempuan rata-rata masih 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata upah pekerja laki-laki. Kondisi pekerja perempuan di sektor pertanian lebih memprihatinkan, seringkali tidak memperoleh upah karena dianggap sebagai pekerja keluarga. Akses perempuan terhadap informasi, sumber daya ekonomi, dan peluang pasar juga masih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki.

Data statistik ini dipakai untuk menunjukkan bahwa ada kesenjangan struktural antara laki-laki dan perempuan yang dalam hal ini kaum perempuan selalu berada dalam kondisi keterpurukan. Data statistik memang dapat memberikan sebuah visualisasi tentang keadaan perempuan sehingga dengan mudah dapat disimpulkan, kaum perempuan berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Akan tetapi, dengan hanya mengandalkan data statistik semata-mata, tanpa mengkaji konteks di balik data statistik tersebut, informasi yang berharga untuk menganalisis kondisi perempuan akan hilang. Bila informasi yang demikian ini terlewatkan, maka hal itu justru dapat menghambat usaha untuk menciptakan keadilan gender itu sendiri.

Meskipun demikian masih adanya pengekangan terhadap perempuan  menjadikan kaum perempuan tidak dianggap setara dengan kaum laki-laki. Dengan keterbatasan keluar dan bekerja dapat diartikan bahwa kaum perempuan tidak diberi kesempatan sama untuk mengembangkan kemampuan sebagaimana kaum laki-laki. Kenyataan ini dapal dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap perempuan.Lihatlah betepa kaum perempuan dengan tiadanya kebebasan untuk berkarir hanya berkisar pada tiga tempat: kasur, dapur, dan sumur.

Artinya kaum perempuan tidak diberi kesempatan untuk belajar dan mengembangkan kemampuan intelektual melalui praktik kerja. Hal-hal yang dilakukan adalah sekitar mencuci pakaian, memandikan sekaligus mengurus anak, memasak dan melayani suami. Sehingga dari sinilah praktik adanya deskriminasi terhadap kaum perempuan, yang sudah saatnya dihilangkan.



PEMBAHASAN

Peran Ganda Perempuan

Perempuan yang memiliki peran yang berbeda dengan laki-laki memiliki peran ganda dalam kehidupannya. Secara umum peran ganda perempuan diartikan sebagai dua atau lebih peran yang harus dimainkan oleh seorang perempuan dalam waktu bersamaan. Adapun peran-peran tersebut umumnya mengenai peran domestik, sebagai ibu rumah tangga, dan peran publik yang umumnya dalam pasar tenaga kerja (Rustiani, 1996:60). Hal ini seperti dapat memberikan penyelesaian atas permasalahan pembakuan peran seperti yang selama ini dipahami sebagian masyarakat sebagai sesuatu yang tidak dapat ditawar. Dengan konsep peran ganda seperti ini, perempuan tidak lagi melulu harus berkutat di sektor domestik, tetapi juga dapat merambah sektor publik.

Pergeseran dalam peran (pembagian kerja) antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan rumah tangga, mencerminkan pula  perubahan peran perempuan dalam pekerjaan rumah tangga (reproduksi). Dari perkembangan dalam organisasi ekonomi tradisional, bahwa ada dua tipe peranan sebagaimana Sajogyo dalam Dyah Ismoyowati (2002:26) yaitu:

1.      Pola peranan dimana digambarkan peranan perempuan seluruhnya hanya dalam pekerjaan rumah tangga atau pemeliharaan kebutuhan hidup sesama anggota keluarga dan rumah tangganya.

2.      Pola peran dimana perempuan mempunyai dua peranan, yaitu peranan dalam pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan mencari nafkah. Bobot dari pekerjaan di bidang nafkah itu berbeda-beda untuk berbagai masyarakat.



Kemajuan ekonomi dan globalisasi membuat pasar kerja semakin kompleks. Dampak lain dari kemajuan tersebut, terlihat dari makin membaiknya status serta lowongan kerja bagi perempuan. Walaupun angka partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat, namun tidak sedikit perempuan yang bekerja penggal waktu (part time) atau bekerja di sektor informal. Hal ini berkaitan erat dengan peran ganda perempuan sebagai ibu yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga termasuk membesarkan anak, serta sebagai pekerja perempuan.

Partisipasi perempuan saat ini bukan sekedar menuntut persamaan hak, tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai arti bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Partisipasi perempuan menyangkut peran tradisi dan peran transisi. Peran tradisi atau domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Pada peran transisi, perempuan sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan sesuai dengan ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang tersedia (Sukesi, 1991).

Kecenderungan perempuan untuk bekerja menimbulkan banyak implikasi, antar lain melonggarnya ikatan keluarga, meningkatnya kenakalan remaja dan implikasi lain. Ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan akan memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan rendah dengan imbalan yang rendah pula. Pekerjaan perempuan selama ini umumnya terbatas pada sektor rumah tangga (sektor domestik), walaupun kini perempuan mulai menyentuh pekerjaan di sektor publik, jenis pekerjaan ini pun merupakan perpanjangan dari pekerjaan lainnya yang lebih banyak memerlukan keahlian manual. Di negara-negara berkembang, tingkat pendidikan yang sangat rendah dengan ketrampilan rendah pula, memaksa perempuan memasuki sektor informal yang sangat eksploitatif dengan gaji sangat rendah, jam kerja yang tak menentu dan panjang, tidak ada cuti dengan bayaran penuh serta keuntungan-keuntungan lainnya maupun jenis pekerjaan dengan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Memperhatikan peranan perempuan dalam pembangunan, sejak sensus 1971 sudah mulai dirasakan kesenjangan partisipasi dalam pembangunan antara pria dan wanita. Kaum perempuan mengalami diskriminasi tidak saja di sektor domestik, di sektor publik kaum perempuan mengalami hal yang sama. Sistem ekonomi industri yang kapitalik yang mengutamakan pertumbuhan dan konsumsi justru menimbulkan diskriminasi terhadap wanita. Diskriminasi di bidang ekonomi dapat dilihat dari kesenjangan upah yang diterima perempuan dibanding pria. Kesenjangan ini bisa dilihat pada setiap kategori seperti tingkat pendidikan, jam kerja dan lapangan usaha. Semakin rendah tingkat pendidikan perempuan semakin besar kesenjangan upah yang diterima terhadap pria.

Rendahnya tingkat pendidikan perempuan ini akan berdampak pada kedudukan mereka dalam pekerjaan dan upah yang mereka terima (Siti Hidayati dalam Ihromi, 1995). Hal serupa juga terjadi pada jenis usaha, artinya perempuan yang melakukan usaha ekonomi yang sama dengan pria mendapatkan penghasilan yang lebih rendah.

Ketertinggalan perempuan pada peran transisi mereka adalah apabila ditelusuri lebih lanjut yang kelihatannya berpangkal pada pembagian pekerjaan secara seksual di dalam masyarakat dimana peran perempuan yang utama adalah lingkungan rumah tangga (domestik sphere) dan peran pria yang utama di luar rumah (public sphere) sebagai pencari nafkah utama. Pembagian kerja secara seksual ini jelas tidak adil bagi perempuan, sebab pembagian kerja seperti ini selain mengurung perempuan, juga menempatkan perempuan pada kedudukan subordinat terhadap laki-laki, sehingga cita-cita untuk mewujudkan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat  akan sulit terlaksana.

Menurut Rogers B dalam Mauuren (1981), adanya pembagian kerja secara seksual ini tentu saja tidak hanya terbatas pada bidang kerja upahan saja. Dalam kerja-kerja tanpa upah, baik dalam pertanian, dalam perdagangan atau industri kecil (yang lebih banyak melibatkan keluarga sendiri), atau dalam tugas-tugas 'rumah tangga' seperti menyiapkan makanan untuk keluarga dan mengasuh anak, pembagian kerja secara seksual juga merupakan fakta yang selalu ada, dan secara tetap pula semakin merugikan perempuan. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkisar pada kerja-kerja rumah tangga--baik dalam pertanian maupun non-pertanian--perempuan bekerja sebagai buruh tanpa upah, dengan bagian keuntungan yang seringkali sangat kecil. Di daerah-daerah pertanian yang miskin, berkembangnya tanaman komoditi dan metode-metode baru penanaman, serta berpindahnya tempat mengolah makanan ke luar rumah, telah membawa perubahan pada pembagian kerja secara seksual, menciptakan kegiatan yang secara finansial menguntungkan laki-laki, dan menyisihkan perempuan ke dalam kegiatan-kegiatan yang kurang produktif. Dan terakhir, di kebanyakan masyarakat, pembagian kerja berdasarkan gender sangat jelas terlihat dalam pekerjaan-pekerjaan yang telah saya sebutkan di atas sebagai pekerjaan 'rumah tangga'. Dalam masyarakat di mana perempuan mengerjakan semua tugas rumah tangga, pekerjaan ini sudah pasti akan dinilai rendah serta sangat membatasi kemampuan perempuan untuk ikut berperan dalam kegiatan-kegiatan yang menghasilkan uang. Di banyak tempat di dunia ini, pembagian kerja secara seksual di dalam rumah memaksa perempuan untuk bekerja dengan waktu yang lebih panjang daripada waktu kerja laki-laki, dan setelah seharian bekerja memperoleh standar hidup yang lebih rendah.

Masyarakat yang mengalami tingkat evolusi lebih maju, pembagian kerja secara seksual tetap berlanjut, meskipun dalam bentuk, kuantitas dan kualitas yang berbeda. Dalam masyarakat agraris misalnya, urusan-urusan ekonomi dan politik secara ketat teroganisir di bawah kaum laki-laki. Kaum perempuan disisihkan ke sektor domestik, menyangkut urusan kerumahtanggan. Dalam masyarakat industri, pola pembagian kerja tidak berbeda dengan masyarat agraris. Status pekerjaan lebih tinggi dan kekuasaan politik masih dominasi oleh kaum laki-laki dan di sektor pekerjaan berstatus lebih rendah (kurang produktif) didominasi oleh perempuan dan akses untuk mendapatkan pengaruh politik bagi kaum perempuan tetap terbatas.



Peran Perempuan : Ibu Rumah Tangga

Istilah ibu rumah tangga (housewife) sering ditujukan kepada para perempuan yang bekerja dalam wilayah domestik, yang hanya mengurus keluarga. Menurut Julia Cleves (2004: 43) istilah ibu rumah tangga adalah penemuan yang boleh dibilang baru. Paling lama, istilah ini baru berusia sekitar satu setengah abad ketika istilah itu mulai dibuatnya dalam ruang-ruang gambar dan dapur di Utara. Sejak itu, istilah ibu rumah tangga menyebar luas, dan kini bisa ditemukan di segenap penjuru dunia. Istilah ibu rumah tangga mulai diperhitungkan ketika proses industrialisasi memungkinkan laki-laki yang mana meniru kelompok kaya aristokrat dan memiliki seorang ibu rumah tangga yang tidak perlu bekerja tapi bisa mewakili status dan kekayaan suaminya.

Lebih lanjut Nawal (2003:208) menjelaskan, dalam undang-undang ketenagakerjaan kaum perempuan yang bekerja di dalam rumah atau biasanya disebut ibu rumah tangga. Pekerjaan perempuan di dalam rumah tidak tampak oleh orang lain serta tidak dianggap sebagai bagian dari pekerjaan produksi di dalam masyakarat. Kita tidak menyebut perempuan yang bekerja di dalam rumah dengan sebutan wanita  karir, padahal pekerjaan wanita di dalam rumah seratus persen adalah pekerjaan produktif. Hanya saja, ia bukanlah pekerjaan yang mendapatkan upah serta tidak memiliki nilai ekonomi atau sosial. Padahal, pekerjaan perempuan di dalam rumah sudah dimulai sejak pagi hingga malam hari, artinya sama dengan jam kerja normal atau bahkan lebih banyak jika dibandingkan rata-rata jam kerja di luar rumah.

Pekerjaan perempuan di dalam rumah meliputi berbagai bidang dan membutuhkan banyak keahlian. Seluruh pekerjaan rumah  mulai dari memasak, merawat, menyusui dan mengasuh anak dilakukan tanpa bayaran, tanpa adanya pengakuan bahwa pekerjaannya itu termasuk pekerjaan produktif dalam masyarakat yaitu pengakuan bahwa pekerjaan di dalam rumah juga berperan dalam perekonomian. Produktivitas memberi manusia rasa kemanusiannya karena perbedaan manusia dengan binatang adalah dalam hal produktivitasnya. Manusia bisa menghasilkan sesuatu karena ia mengetahui dan menemukan alat sebagai sarana produksi. Mengabaikan produktivitas perempuan yang bekerja dalam rumah bebarti mengabaikan sifat kemansiannya. Begitu pula mengabaikan nilai upah pekerjaannya serta membebankan semua pekerjaan rumah kepadanya tanpa imbalan apa-apa, sama artinya dengan menghilangkan hak-hak dasar perekonomian, seperti juga halnya dengan mewajibkan pekerjaan rumah kepadanya dan tidak diperbolehkannya memilih pekerjaan. Yang seharusnya terjadi, manusialah yang memilih pekerjaannya dan bukan pekerjaan itu yang mewajibkannya hanya karena terlahir sebagai perempuan.  

Menurut Nawal  (2003:209), fakta perempuan bekerja di dalam rumah memiliki tiga dimensi yaitu:

1.      Menjauhkannya dari kemampuan produktif sebagai manusia serta menganggap rendahnya pekerjaannya sebagai pekerjaan yang produktif

2.      Menjauhkannya dari upah atau imbalan

3.      Membebankan semua pekerjaan rumah atas dirinya hanya lantaran ia seorang perempuan

Apabila kita menyadari rendahnya imbalan dibandingkan dengan beban dari pekerjaan tersebut, di mana masyarakat sosialis selalu berusaha membebaskan kaum perempuan untuk bekerja di luar rumah jika dibandingkan dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak, maka dapat kita bayangkan betapa banyak harta kekayaan negara yang dihasilkan dari pekerjaan perempuan di dalam rumah tanpa imbalan tersebut. Masyarakat kapitaslis tidak terlalu memperhatikan keuntungan yang diberikan oleh pekerjaan perempuan di dalam rumah. Padahal bila tidak ada perempuan yang bekerja di dalam rumah, perekonomian kapitalis akan hancur. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bekerja dengan baik jika tidak mempunyai seorang perempuan yang mau bekerja dirumah, yang mempersiapkan makanan, mendidik anak dan mengurus keluarga? Bagaimana mungkin masyakarat kapitalis mengatur tenaga kerja baru bila perempuan menolak untuk melahirkan dan mengasuhnya? Oleh karena itulah, kemudian masyakarat kapitalis menyadari kekuatan perempuan dan mulai menuntut persyaratan baru untuk bekerja di dalam rumah yaitu upah kehamilan, melahirkan dan menyusui anak (Nawal, 2003 : 210).

Fakta inilah yang membuat perempuan selalu berada di posisi kedua dalam hal pekerjaan pekerjaan rumah yang dilakukan oleh perempuan dianggap bukan sebagai profesi karena tidak dinilai dari segi ekonominya, padahal pekerjaan di dalam rumah menuntut keahlian seorang perempuan.

Islam mengatur bahwa perempuan dalam manajemen keluarga memiliki tanggung jawab untuk mengurus keluarga mulai menyusukan anak hingga mengasuh dan merawat anak, dan tanggung jawab untuk memberikan nafkah dibebankan kepada laki-laki atau suami sebagai kepala keluarga (Thalib, 2007:183). Namun tidak dipungkiri juga banyak perempuan yang mengurus keluarga dan memiliki pekerjaan di luar rumah. Sejarah telah menjelaskan bahwa perempuan Arab yang paling terkenal adalah Khadijah, Isteri pertama Nabi Muhammad Saw. Khadijah sosok perempuan Arab yang memiliki kepribadian dan kemandirian baik dari segi ekonomi maupun dalam hal kemasyarakatan. 



Partisipasi Perempuan di Dunia Kerja

Di era industrialisasi sekarang ini, sektor industri menjadi motor pembangunan, sangat memerlukan adanya tenaga kerja yang merupakan salah satu input dalam proses produksi. Sumbangan perempuan dalam pembangunan ekonomi terlihat dari kecenderungan partisipasinya dalam angkatan kerja. Sebagai salah satu indikator, partisipasi dalam bidang ekonomi ditunjukkan dari laju peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja antara tahun 1975-2000 lebih cepat dari peningkatan laju partisipasi pria.

Selain kesempatan kerja, perempuan juga masih mengalami kesenjangan dalam peningkatan karier di tempat kerjanya. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya masalah yang dihadapi oleh perempuan pekerja di Indonesia, terutama  sikap bias gender dari masyarakat dan perusahaan. Masih banyak perempuan bekerja yang mendapat hambatan pada saat mereka menjalankan fungsi reproduktifnya, terutama pada saat memenuhi kewajibannya untuk memberikan ASI eksklusif.

Menurut Sayogyo dalam Sudarta (2001) peran perempuan di bidang pertanian dimulai semenjak orang mengenal alam dan bercocok tanam. Semenjak itu pula mulai berkembang pembagian kerja yang nyata antara laki-laki dan perempuan pada beragam pekerjaan baik di dalam rumah tangga maupun di dalam masyarakat luas. Terdapat kurang lebih 21,74 juta rumah tangga petani di Indonesia, persentase tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di sektor pertanian dan perhutanan cenderung meningkat sampai 40,71%, ini berarti jumlah SDM perempuan yang bekerja hampir separoh SDM laki-laki. Kenyataan menunjukkan bahwa hampir 40% perempuan tani berasal dari golongan rumah tangga tidak mampu. Oleh karena itu SDM perempuan harus diberdayakan. Untuk itu pelatihan dan penyuluhan IPTEK untuk pengembangan kualitas SDM pertanian harus dimulai untuk menghilangkan segala bentuk diskriminatif.

Keterlibatan perempuan dalam bidang pekerjaan sering tidak diperhitungkan, besarnya upah yang diterima perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Dengan tingkat pendidikan yang sama, pekerja perempuan hanya menerima sekitar 50% sampai 80% upah yang diterima laki-laki. Selain itu banyak perempuan yang bekerja pada pekerjaan pekerjaan marginal sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan (Hastuti, 2005). Kerja konkret mereka begitu diremehkan di dalam dokumentasi statistik. Meskipun kaum perempuan tampil mayoritas dalam produksi pertanian, namun sumbangan besar mereka ini tetap dianggap sepi. Dijelaskan juga oleh Hastuti (2005) bahwa banyak perempuan yang bekerja pada pekerjaan-pekerjaan marginal sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan. Hal ini karena pengakuan kontribusi kerja konkret mereka tidak pernah ada, kerja mereka dipandang sekedar sampingan atau merupakan bagian dari tenaga kerja keluarga yang tidak pernah diupah, alias buruh tanpa upah.

Pada umumnya misi/harapan yang ingin dicapai oleh rata-rata tenaga kerja perempuan di pedesaan adalah alasan ekonomi yaitu menambah pendapatan keluarga. Sedangkan Novari, dkk (1991) menyebutkan, perempuan bekerja tentu bukan semata-mata karena alasan faktor ekonomi keluarga yang sedemikian sulit, tetapi juga beberapa motivasi lain, seperti suami tidak bekerja/pendapatan kurang, ingin mencari uang sendiri, mengisi waktu luang, mencari pengalaman, ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga, dan adanya keinginan mengaktualisasikan diri. Sebagai contoh, hasil penelitian yang dilakukan Handayani, dkk. (2002) pada industri kerajinan patung kayu di Desa Sebatu, Gianyar-Bali, tenaga kerja perempuan responden menyatakan bahwa, motivasi mereka bekerja adalah: (1) untuk menambah penghasilan keluarga, (2) penghasilan suami tidak mencukupi, (3) suami menyerahkan sebagian kecil pendapatannya untuk keperluan sehari-hari, (4) mencari pengalaman, pengetahuan dan untuk pergaulan. Melihat alasan ekonomi (1 sampai 3) yang dikemukakan responden yang sudah menikah menunjukkan adanya tanggung jawab seorang istri dalam rumah tangga, walaupun pendapatan mereka sering dipandang sebagai pendapatan tambahan. Adanya kebiasaan suami yang menyerahkan sebagian kecil pendapatannya kepada istri di lokasi penelitian, merupakan pendorong masuknya pekerja perempuan yang menikah ke pasar kerja. Keadaan ini menunjukkan bahwa perempuan ingin memanfaatkan potensi ekonomis yang mereka miliki, mengurangi ketergantungan pada suami, di samping adanya kesadaran bahwa perempuan tidak ingin hanya melakukan peran tradisional yang berada di garis belakang tetapi juga mampu berperan pada sektor publik. Oleh karena itu, nilai kerja mereka yang selama ini diabaikan bahkan diremehkan harus dihargai dan dibuat tampak oleh tatanan masyarakat (Hamdani, 2005).



PENUTUP

Peran perempuan meliputi peran tradisi dan peran transisi. Peran radisi atau domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Peran ganda inilah yang kemudian menuntut perempuan untuk bekerja di dalam rumah dalam urusan repodusksi dan melakukan pekerjaan di luar rumah dalam urusan produksi.

Pekerjaan rumah tangga tidak dinilai sebagai pekerjaan karena alasan ekonomi semata dan akibatnya pelakunya tidak dinilai bekerja. Hal ini perlu diperjelas bahwa posisi perempuan dalam pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga, padahal beban kerja ibu rumah tangga jauh lebih lama dibandingkan dengan laki-laki yang bekerja di luar rumah.

Salah satu indikator yang dapat menunjukkan peran serta perempuan dalam dunia kerja adalah meningkatnya permintaan atas pekerja perempuan pada dunia kerja. Posisi perempuan di dunia kerja kini mulai meningkat dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Meskipun jumlah perempuan yang aktif lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Ini disebabkan oleh peran perempuan yang tak kalah pentingnya dalam keluarga yaitu mengurus rumah tangga.



DAFTAR PUSTAKA



Andayani, Trisni. Perubahan Peranan Wanita dalam Ekonomi Keluarga Nelayan di Desa Percut Kecamatan Percut sei Tuah Kabupaten Deli Serdang .  Makalah ini disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII. Jakarta, 14-17 November 2006.

Clevess Mosse, Julia. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Idriyani, Azazah. Pengaruh Konflik Peran Ganda dan Stess Kerja terhadap Kinerja Perawat Wanita Rumah Sakit (Studi Pada Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang. Semarang: PPs Universitas Dipenegoro Semarang. 2009.

Ismoyowati, Dyah, dkk.  Peranan Perempuan Dalam Ekonomi Keluarga Ter-PHK Untuk Mengatasi Dampak Krisis, Dinamika Pedesaan dan Kawasan, Vol 2/02/2002  

Rustiani, F., 1996, “Istilah-Istilah Umum dalam Wacana Gender”, dalam Jurnal Analisis Sosial: Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan,Edisi 4/November 1996, Yayasan Akatiga, Bandung.

El-Saadawi. Wajah Telanjang Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Press. 2003.

Sudarta, I Wayan. 2000. Peranan Pria dan Perempuan dalam Urusan Rumah Tangga. (Studi Kasus Desa Baha, Kec.Mengwi, Kab.Badung). Jurnal Dinamika Kependudukan vol.II. no 1.th.2000. Lembaga Penelitian UNUD. Denpasar.  Online: http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/mjlhsrikandiria.pdf

Thalib, Muhammad. Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro U. 2007.

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-quran. Jakarta: Paramadina. 2001.



















Women's multiple roles include his role in the reproductive care of housework and child care also has a productive role to generate money to help the family finances. But the tendency of women to work raises many implications, among others loosening of family ties, increased juvenile delinquency and other implications. Injustices that befall women will bring up the perception that women are born to do work that is much more limited in number with low-status jobs with low remuneration as well. Women's work has been generally limited to the household sector (domestic sector), although women are now beginning to touch the work in the public sector, even this type of work is an extension of other jobs that require more expertise.


 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar