PERAN
GANDA PEREMPUAN DALAM KELUARGA:
REPRODUKTIF
DAN PRODUKTIF
Sitti
Nikmah Marzuki
Abstract :
The existence of repression against women making women were
not considered equal to men. By limitation out and work can mean that women
were not given the same opportunity to develop skills as men. How women in the
absence of freedom for a career ranged only in three places: mattresses,
kitchens, and wells. This means that women are not given the opportunity to
learn and develop their intellectual abilities through work practices. The
things done is about to wash clothes, bathe at the same time raising children,
cooking and serving her husband. So this is where the practice of
discrimination against women's time is eliminated.
Discrimination experienced then demanded women should
perform his role in two aspects, in addition working at home to take care of
the family also had to work outside the home to support the husband's income to
be more prosperous. Working at house is not considered a profession because it
does not make money. So women should have the dual role of reproductive and
productive. Housework is not considered as work for economic reasons and consequently the culprit is not rated to
work. This needs to be clarified that the position of women in his work as
housewives, whereas housewives workload is much longer than women who work
outside the home.
Keyword : gender, peran ganda,
reprodiksi dan produktif
PENDAHULUAN
Kehidupan bermasyarakat kaum laki dan
perempuan memiliki peran gender yang berbeda. Terdapat perbedaan pekerjaan yang
mereka lakukan dalam komunitasnya, dan status maupun kekuasaaan dalam
masyarakat juga boleh jadi berbeda pula. Perbedaan jalan perkembangan peran
gender dalam masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari lingkungan
alam, hingga cerita dan mitos-mitos yang digunakan untuk memecahkan teka-teki
perbedaan jenis kelamin.
Perempuan memiliki peran yang kompleks
dalam kehidupan, biasanya perempuan memiliki peran kerja dalam reproduksi,
melahirkan dan mengasuh anak. Di samping itu juga memiliki peran kerja ekonomi
produktif dalam menopang ekonomi keluarga serta manajemen komunitas.
Sebagaimana dikemukakan oleh Moser dalam Julia Cleves Mosse (2004: 37) bahwa
kerja perempuan dalam reproduksi, ekonomi produktif, dan manajemen komunitas
disebut tiga serangkai peran perempuan. Ini menunjukkan, perempuan memiliki
peran ganda di samping harus melakukan pekerjaan rumah tangga atau domestik,
juga memiliki peran pencari nafkah untuk meraih kesejahteraan
Peningkatan kualitas hidup dan peran
perempuan serta kesejahteraannya merupakan bagian penting dalam upaya peningkatan
sumber daya manusia yang berkualitas. Pembangunan nasional selayaknya
memberikan akses yang memadai bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam berbagai
hal, memanfaatkan hasil-hasil pembangunan, serta turut mempunyai andil dalam
proses pengendalian/kontrol pembangunan. Selain itu, pembangunan nasional harus
memegang prinsip pemenuhan hak asasi manusia, yang salah satunya tercermin
dalam pencapaian kesetaraan dan keadilan gender, serta hak-hak anak yang tidak
terabaikan.
Peran
perempuan di bidang ekonomi sudah menunjukkan adanya perbaikan, walaupun bila
dibandingkan dengan laki-laki masih lebih rendah. Tingkat partisipasi angkatan
kerja (TPAK) perempuan mengalami sedikit peningkatan dari 48,6 persen
(Sakernas, Februari 2006) menjadi 49,5 persen (Sakernas, Februari 2007) dan
51,3 persen (Sakernas, Februari 2008), sedangkan lakilaki 84,7 persen pada
tahun 2006, 83,7 persen pada tahun 2007 serta 83,6 persen pada tahun 2008.
Menurut data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi per Agustus 2007, sekitar
79 persen dari total tenaga kerja yang bekerja di luar negeri adalah perempuan.
Sebagian besar pekerja di sektor informal adalah juga perempuan.
Pekerja-pekerja tersebut umumnya tidak memiliki perlindungan sosial sehingga
menjadi sangat rentan terhadap tindak kekerasan, eksploitasi, diskiriminasi,
dan bahkan diperdagangkan. Upah pekerja perempuan rata-rata masih 30 persen
lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata upah pekerja laki-laki. Kondisi
pekerja perempuan di sektor pertanian lebih memprihatinkan, seringkali tidak
memperoleh upah karena dianggap sebagai pekerja keluarga. Akses perempuan terhadap
informasi, sumber daya ekonomi, dan peluang pasar juga masih rendah jika
dibandingkan dengan laki-laki.
Data
statistik ini dipakai untuk menunjukkan bahwa ada kesenjangan struktural antara
laki-laki dan perempuan yang dalam hal ini kaum perempuan selalu berada dalam
kondisi keterpurukan. Data statistik memang dapat memberikan sebuah visualisasi
tentang keadaan perempuan sehingga dengan mudah dapat disimpulkan, kaum
perempuan berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Akan tetapi, dengan
hanya mengandalkan data statistik semata-mata, tanpa mengkaji konteks di balik
data statistik tersebut, informasi yang berharga untuk menganalisis kondisi
perempuan akan hilang. Bila informasi yang demikian ini terlewatkan, maka hal
itu justru dapat menghambat usaha untuk menciptakan keadilan gender itu
sendiri.
Meskipun
demikian masih adanya pengekangan terhadap
perempuan menjadikan kaum perempuan
tidak dianggap setara dengan kaum laki-laki. Dengan keterbatasan keluar dan
bekerja dapat diartikan bahwa kaum perempuan tidak diberi kesempatan sama untuk
mengembangkan kemampuan sebagaimana kaum laki-laki. Kenyataan ini dapal dianggap
sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap perempuan.Lihatlah betepa
kaum perempuan dengan tiadanya kebebasan untuk berkarir hanya berkisar pada tiga
tempat: kasur, dapur, dan sumur.
Artinya kaum perempuan tidak diberi
kesempatan untuk belajar dan mengembangkan kemampuan intelektual melalui
praktik kerja. Hal-hal yang dilakukan adalah sekitar mencuci pakaian,
memandikan sekaligus mengurus anak, memasak dan melayani suami. Sehingga dari
sinilah praktik adanya deskriminasi terhadap kaum perempuan, yang sudah saatnya
dihilangkan.
PEMBAHASAN
Peran
Ganda Perempuan
Perempuan
yang memiliki peran yang berbeda dengan laki-laki memiliki peran ganda dalam
kehidupannya. Secara umum peran ganda perempuan diartikan sebagai dua atau
lebih peran yang harus dimainkan oleh seorang perempuan dalam waktu bersamaan.
Adapun peran-peran tersebut umumnya mengenai peran domestik, sebagai ibu rumah
tangga, dan peran publik yang umumnya dalam pasar tenaga kerja (Rustiani, 1996:60).
Hal ini seperti dapat memberikan penyelesaian atas permasalahan pembakuan peran
seperti yang selama ini dipahami sebagian masyarakat sebagai sesuatu yang tidak
dapat ditawar. Dengan konsep peran ganda seperti ini, perempuan tidak lagi
melulu harus berkutat di sektor domestik, tetapi juga dapat merambah sektor
publik.
Pergeseran dalam peran (pembagian kerja)
antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan rumah tangga, mencerminkan
pula perubahan peran perempuan dalam
pekerjaan rumah tangga (reproduksi). Dari perkembangan dalam organisasi ekonomi
tradisional, bahwa ada dua tipe peranan sebagaimana Sajogyo dalam Dyah
Ismoyowati (2002:26) yaitu:
1. Pola
peranan dimana digambarkan peranan perempuan seluruhnya hanya dalam pekerjaan
rumah tangga atau pemeliharaan kebutuhan hidup sesama anggota keluarga dan
rumah tangganya.
2. Pola
peran dimana perempuan mempunyai dua peranan, yaitu peranan dalam pekerjaan
rumah tangga dan pekerjaan mencari nafkah. Bobot dari pekerjaan di bidang
nafkah itu berbeda-beda untuk berbagai masyarakat.
Kemajuan ekonomi dan globalisasi membuat
pasar kerja semakin kompleks. Dampak lain dari kemajuan tersebut, terlihat dari
makin membaiknya status serta lowongan kerja bagi perempuan. Walaupun angka
partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat, namun tidak sedikit perempuan yang
bekerja penggal waktu (part time)
atau bekerja di sektor informal. Hal ini berkaitan erat dengan peran ganda perempuan
sebagai ibu yang bertanggung jawab atas urusan rumah tangga termasuk
membesarkan anak, serta sebagai pekerja perempuan.
Partisipasi perempuan saat ini bukan
sekedar menuntut persamaan hak, tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai arti
bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Partisipasi perempuan menyangkut
peran tradisi dan peran transisi. Peran tradisi atau domestik mencakup peran perempuan
sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran transisi
meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan
manusia pembangunan. Pada peran transisi, perempuan sebagai tenaga kerja turut
aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan sesuai
dengan ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang
tersedia (Sukesi, 1991).
Kecenderungan perempuan untuk bekerja
menimbulkan banyak implikasi, antar lain melonggarnya ikatan keluarga,
meningkatnya kenakalan remaja dan implikasi lain. Ketidakadilan yang menimpa
kaum perempuan akan memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untuk
melakukan pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan
rendah dengan imbalan yang rendah pula. Pekerjaan perempuan selama ini umumnya
terbatas pada sektor rumah tangga (sektor domestik), walaupun kini perempuan mulai
menyentuh pekerjaan di sektor publik, jenis pekerjaan ini pun merupakan perpanjangan
dari pekerjaan lainnya yang lebih banyak memerlukan keahlian manual. Di negara-negara
berkembang, tingkat pendidikan yang sangat rendah dengan ketrampilan rendah
pula, memaksa perempuan memasuki sektor informal yang sangat eksploitatif
dengan gaji sangat rendah, jam kerja yang tak menentu dan panjang, tidak ada
cuti dengan bayaran penuh serta keuntungan-keuntungan lainnya maupun jenis
pekerjaan dengan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Memperhatikan peranan perempuan dalam
pembangunan, sejak sensus 1971 sudah mulai dirasakan kesenjangan partisipasi
dalam pembangunan antara pria dan wanita. Kaum perempuan mengalami diskriminasi
tidak saja di sektor domestik, di sektor publik kaum perempuan mengalami hal
yang sama. Sistem ekonomi industri yang kapitalik yang mengutamakan pertumbuhan
dan konsumsi justru menimbulkan diskriminasi terhadap wanita. Diskriminasi di
bidang ekonomi dapat dilihat dari kesenjangan upah yang diterima perempuan dibanding
pria. Kesenjangan ini bisa dilihat pada setiap kategori seperti tingkat pendidikan,
jam kerja dan lapangan usaha. Semakin rendah tingkat pendidikan perempuan semakin
besar kesenjangan upah yang diterima terhadap pria.
Rendahnya tingkat pendidikan perempuan ini
akan berdampak pada kedudukan mereka dalam pekerjaan dan upah yang mereka
terima (Siti Hidayati dalam Ihromi, 1995). Hal serupa juga terjadi pada jenis
usaha, artinya perempuan yang melakukan usaha ekonomi yang sama dengan pria mendapatkan
penghasilan yang lebih rendah.
Ketertinggalan perempuan pada peran transisi
mereka adalah apabila ditelusuri lebih lanjut yang kelihatannya berpangkal pada
pembagian pekerjaan secara seksual di dalam masyarakat dimana peran perempuan yang
utama adalah lingkungan rumah tangga (domestik sphere) dan peran pria
yang utama di luar rumah (public sphere) sebagai pencari nafkah utama.
Pembagian kerja secara seksual ini jelas tidak adil bagi perempuan, sebab
pembagian kerja seperti ini selain mengurung perempuan, juga menempatkan perempuan
pada kedudukan subordinat terhadap laki-laki, sehingga cita-cita untuk mewujudkan
perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat akan sulit terlaksana.
Menurut Rogers B dalam Mauuren (1981), adanya pembagian kerja secara seksual
ini tentu saja tidak hanya terbatas pada bidang kerja upahan saja. Dalam
kerja-kerja tanpa upah, baik dalam pertanian, dalam perdagangan atau industri
kecil (yang lebih banyak melibatkan keluarga sendiri), atau dalam tugas-tugas
'rumah tangga' seperti menyiapkan makanan untuk keluarga dan mengasuh anak,
pembagian kerja secara seksual juga merupakan fakta yang selalu ada, dan secara
tetap pula semakin merugikan perempuan. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkisar
pada kerja-kerja rumah tangga--baik dalam pertanian maupun
non-pertanian--perempuan bekerja sebagai buruh tanpa upah, dengan bagian
keuntungan yang seringkali sangat kecil. Di daerah-daerah pertanian yang
miskin, berkembangnya tanaman komoditi dan metode-metode baru penanaman, serta
berpindahnya tempat mengolah makanan ke luar rumah, telah membawa perubahan
pada pembagian kerja secara seksual, menciptakan kegiatan yang secara finansial
menguntungkan laki-laki, dan menyisihkan perempuan ke dalam kegiatan-kegiatan
yang kurang produktif. Dan terakhir, di kebanyakan masyarakat, pembagian kerja
berdasarkan gender sangat jelas terlihat dalam pekerjaan-pekerjaan yang telah
saya sebutkan di atas sebagai pekerjaan 'rumah tangga'. Dalam masyarakat di
mana perempuan mengerjakan semua tugas rumah tangga, pekerjaan ini sudah pasti
akan dinilai rendah serta sangat membatasi kemampuan perempuan untuk ikut
berperan dalam kegiatan-kegiatan yang menghasilkan uang. Di banyak tempat di
dunia ini, pembagian kerja secara seksual di dalam rumah memaksa perempuan
untuk bekerja dengan waktu yang lebih panjang daripada waktu kerja laki-laki,
dan setelah seharian bekerja memperoleh standar hidup yang lebih rendah.
Masyarakat
yang mengalami tingkat evolusi lebih maju, pembagian
kerja secara seksual tetap berlanjut, meskipun dalam bentuk, kuantitas dan
kualitas yang berbeda. Dalam masyarakat agraris misalnya, urusan-urusan ekonomi
dan politik secara ketat teroganisir di bawah kaum laki-laki. Kaum perempuan
disisihkan ke sektor domestik, menyangkut urusan kerumahtanggan. Dalam
masyarakat industri, pola pembagian kerja tidak berbeda dengan masyarat
agraris. Status pekerjaan lebih tinggi dan kekuasaan politik masih dominasi
oleh kaum laki-laki dan di sektor pekerjaan berstatus lebih rendah (kurang
produktif) didominasi oleh perempuan dan akses untuk mendapatkan pengaruh
politik bagi kaum perempuan tetap terbatas.
Peran
Perempuan : Ibu Rumah Tangga
Istilah ibu
rumah tangga (housewife) sering
ditujukan kepada para perempuan yang bekerja dalam wilayah domestik, yang hanya
mengurus keluarga. Menurut Julia Cleves (2004: 43) istilah ibu rumah tangga
adalah penemuan yang boleh dibilang baru. Paling lama, istilah ini baru berusia
sekitar satu setengah abad ketika istilah itu mulai dibuatnya dalam ruang-ruang
gambar dan dapur di Utara. Sejak itu, istilah ibu rumah tangga menyebar luas,
dan kini bisa ditemukan di segenap penjuru dunia. Istilah ibu rumah tangga
mulai diperhitungkan ketika proses industrialisasi memungkinkan laki-laki yang
mana meniru kelompok kaya aristokrat dan memiliki seorang ibu rumah tangga yang
tidak perlu bekerja tapi bisa mewakili status dan kekayaan suaminya.
Lebih lanjut
Nawal (2003:208) menjelaskan, dalam undang-undang ketenagakerjaan kaum
perempuan yang bekerja di dalam rumah atau biasanya disebut ibu rumah tangga.
Pekerjaan perempuan di dalam rumah tidak tampak oleh orang lain serta tidak
dianggap sebagai bagian dari pekerjaan produksi di dalam masyakarat. Kita tidak
menyebut perempuan yang bekerja di dalam rumah dengan sebutan wanita karir, padahal pekerjaan wanita di dalam
rumah seratus persen adalah pekerjaan produktif. Hanya saja, ia bukanlah
pekerjaan yang mendapatkan upah serta tidak memiliki nilai ekonomi atau sosial.
Padahal, pekerjaan perempuan di dalam rumah sudah dimulai sejak pagi hingga
malam hari, artinya sama dengan jam kerja normal atau bahkan lebih banyak jika
dibandingkan rata-rata jam kerja di luar rumah.
Pekerjaan
perempuan di dalam rumah meliputi berbagai bidang dan membutuhkan banyak
keahlian. Seluruh pekerjaan rumah mulai
dari memasak, merawat, menyusui dan mengasuh anak dilakukan tanpa bayaran,
tanpa adanya pengakuan bahwa pekerjaannya itu termasuk pekerjaan produktif
dalam masyarakat yaitu pengakuan bahwa pekerjaan di dalam rumah juga berperan
dalam perekonomian. Produktivitas memberi manusia rasa kemanusiannya karena
perbedaan manusia dengan binatang adalah dalam hal produktivitasnya. Manusia
bisa menghasilkan sesuatu karena ia mengetahui dan menemukan alat sebagai
sarana produksi. Mengabaikan produktivitas perempuan yang bekerja dalam rumah
bebarti mengabaikan sifat kemansiannya. Begitu pula mengabaikan nilai upah
pekerjaannya serta membebankan semua pekerjaan rumah kepadanya tanpa imbalan
apa-apa, sama artinya dengan menghilangkan hak-hak dasar perekonomian, seperti
juga halnya dengan mewajibkan pekerjaan rumah kepadanya dan tidak
diperbolehkannya memilih pekerjaan. Yang seharusnya terjadi, manusialah yang
memilih pekerjaannya dan bukan pekerjaan itu yang mewajibkannya hanya karena
terlahir sebagai perempuan.
Menurut
Nawal (2003:209), fakta perempuan
bekerja di dalam rumah memiliki tiga dimensi yaitu:
1.
Menjauhkannya dari kemampuan produktif sebagai manusia serta menganggap
rendahnya pekerjaannya sebagai pekerjaan yang produktif
2.
Menjauhkannya dari upah atau imbalan
3.
Membebankan semua pekerjaan rumah atas dirinya hanya lantaran ia seorang
perempuan
Apabila kita menyadari rendahnya imbalan
dibandingkan dengan beban dari pekerjaan tersebut, di mana masyarakat sosialis
selalu berusaha membebaskan kaum perempuan untuk bekerja di luar rumah jika
dibandingkan dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak, maka
dapat kita bayangkan betapa banyak harta kekayaan negara yang dihasilkan dari
pekerjaan perempuan di dalam rumah tanpa imbalan tersebut. Masyarakat
kapitaslis tidak terlalu memperhatikan keuntungan yang diberikan oleh pekerjaan
perempuan di dalam rumah. Padahal bila tidak ada perempuan yang bekerja di
dalam rumah, perekonomian kapitalis akan hancur. Bagaimana mungkin seorang
laki-laki bekerja dengan baik jika tidak mempunyai seorang perempuan yang mau
bekerja dirumah, yang mempersiapkan makanan, mendidik anak dan mengurus
keluarga? Bagaimana mungkin masyakarat kapitalis mengatur tenaga kerja baru
bila perempuan menolak untuk melahirkan dan mengasuhnya? Oleh karena itulah,
kemudian masyakarat kapitalis menyadari kekuatan perempuan dan mulai menuntut
persyaratan baru untuk bekerja di dalam rumah yaitu upah kehamilan, melahirkan
dan menyusui anak (Nawal, 2003 : 210).
Fakta inilah yang membuat perempuan selalu berada di
posisi kedua dalam hal pekerjaan pekerjaan rumah yang dilakukan oleh perempuan
dianggap bukan sebagai profesi karena tidak dinilai dari segi ekonominya,
padahal pekerjaan di dalam rumah menuntut keahlian seorang perempuan.
Islam mengatur bahwa perempuan dalam manajemen
keluarga memiliki tanggung jawab untuk mengurus keluarga mulai menyusukan anak
hingga mengasuh dan merawat anak, dan tanggung jawab untuk memberikan nafkah
dibebankan kepada laki-laki atau suami sebagai kepala keluarga (Thalib,
2007:183). Namun tidak dipungkiri juga banyak perempuan yang mengurus keluarga
dan memiliki pekerjaan di luar rumah. Sejarah telah menjelaskan bahwa perempuan
Arab yang paling terkenal adalah Khadijah, Isteri pertama Nabi Muhammad Saw.
Khadijah sosok perempuan Arab yang memiliki kepribadian dan kemandirian baik
dari segi ekonomi maupun dalam hal kemasyarakatan.
Partisipasi
Perempuan di Dunia Kerja
Di era industrialisasi sekarang ini,
sektor industri menjadi motor pembangunan, sangat memerlukan adanya tenaga
kerja yang merupakan salah satu input dalam proses produksi. Sumbangan perempuan
dalam pembangunan ekonomi terlihat dari kecenderungan partisipasinya dalam
angkatan kerja. Sebagai salah satu indikator, partisipasi dalam bidang ekonomi
ditunjukkan dari laju peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja
antara tahun 1975-2000 lebih cepat dari peningkatan laju partisipasi pria.
Selain
kesempatan kerja, perempuan juga masih mengalami kesenjangan dalam peningkatan
karier di tempat kerjanya. Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya masalah yang
dihadapi oleh perempuan pekerja di Indonesia, terutama sikap bias gender
dari masyarakat dan perusahaan. Masih banyak perempuan bekerja yang mendapat
hambatan pada saat mereka menjalankan fungsi reproduktifnya, terutama pada saat
memenuhi kewajibannya untuk memberikan ASI eksklusif.
Menurut Sayogyo dalam Sudarta (2001) peran
perempuan di bidang pertanian dimulai semenjak orang mengenal alam dan bercocok
tanam. Semenjak itu pula mulai berkembang pembagian kerja yang nyata antara
laki-laki dan perempuan pada beragam pekerjaan baik di dalam rumah tangga maupun
di dalam masyarakat luas. Terdapat kurang lebih 21,74 juta rumah tangga petani di
Indonesia, persentase tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di sektor
pertanian dan perhutanan cenderung meningkat sampai 40,71%, ini berarti jumlah
SDM perempuan yang bekerja hampir separoh SDM laki-laki. Kenyataan menunjukkan
bahwa hampir 40% perempuan tani berasal dari golongan rumah tangga tidak mampu.
Oleh karena itu SDM perempuan harus diberdayakan. Untuk itu pelatihan dan
penyuluhan IPTEK untuk pengembangan kualitas SDM pertanian harus dimulai untuk menghilangkan
segala bentuk diskriminatif.
Keterlibatan perempuan dalam bidang
pekerjaan sering tidak diperhitungkan, besarnya upah yang diterima perempuan
lebih rendah dari pada laki-laki. Dengan tingkat pendidikan yang sama, pekerja
perempuan hanya menerima sekitar 50% sampai 80% upah yang diterima laki-laki.
Selain itu banyak perempuan yang bekerja pada pekerjaan pekerjaan marginal
sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan
upah rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan
(Hastuti, 2005). Kerja konkret mereka begitu diremehkan di dalam dokumentasi
statistik. Meskipun kaum perempuan tampil mayoritas dalam produksi pertanian,
namun sumbangan besar mereka ini tetap dianggap sepi. Dijelaskan juga oleh Hastuti
(2005) bahwa banyak perempuan yang bekerja pada pekerjaan-pekerjaan marginal
sebagai buruh lepas, atau pekerja keluarga tanpa memperoleh upah atau dengan upah
rendah. Mereka tidak memperoleh perlindungan hukum dan kesejahteraan. Hal ini karena
pengakuan kontribusi kerja konkret mereka tidak pernah ada, kerja mereka dipandang
sekedar sampingan atau merupakan bagian dari tenaga kerja keluarga yang tidak
pernah diupah, alias buruh tanpa upah.
Pada umumnya misi/harapan yang ingin
dicapai oleh rata-rata tenaga kerja perempuan di pedesaan adalah alasan ekonomi
yaitu menambah pendapatan keluarga. Sedangkan Novari, dkk (1991) menyebutkan, perempuan
bekerja tentu bukan semata-mata karena alasan faktor ekonomi keluarga yang
sedemikian sulit, tetapi juga beberapa motivasi lain, seperti suami tidak
bekerja/pendapatan kurang, ingin mencari uang sendiri, mengisi waktu luang,
mencari pengalaman, ingin berperan serta dalam ekonomi keluarga, dan adanya
keinginan mengaktualisasikan diri. Sebagai contoh, hasil penelitian yang dilakukan
Handayani, dkk. (2002) pada industri kerajinan patung kayu di Desa Sebatu, Gianyar-Bali,
tenaga kerja perempuan responden menyatakan bahwa, motivasi mereka bekerja
adalah: (1) untuk menambah penghasilan keluarga, (2) penghasilan suami tidak mencukupi,
(3) suami menyerahkan sebagian kecil pendapatannya untuk keperluan sehari-hari,
(4) mencari pengalaman, pengetahuan dan untuk pergaulan. Melihat alasan ekonomi
(1 sampai 3) yang dikemukakan responden yang sudah menikah menunjukkan adanya
tanggung jawab seorang istri dalam rumah tangga, walaupun pendapatan mereka sering
dipandang sebagai pendapatan tambahan. Adanya kebiasaan suami yang menyerahkan
sebagian kecil pendapatannya kepada istri di lokasi penelitian, merupakan pendorong
masuknya pekerja perempuan yang menikah ke pasar kerja. Keadaan ini menunjukkan
bahwa perempuan ingin memanfaatkan potensi ekonomis yang mereka miliki, mengurangi
ketergantungan pada suami, di samping adanya kesadaran bahwa perempuan tidak ingin
hanya melakukan peran tradisional yang berada di garis belakang tetapi juga mampu
berperan pada sektor publik. Oleh karena itu, nilai kerja mereka yang selama
ini diabaikan bahkan diremehkan harus dihargai dan dibuat tampak oleh tatanan
masyarakat (Hamdani, 2005).
PENUTUP
Peran perempuan meliputi peran tradisi
dan peran transisi. Peran radisi atau domestik mencakup peran perempuan sebagai
istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran transisi meliputi
pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia
pembangunan. Peran ganda inilah yang kemudian menuntut perempuan untuk bekerja
di dalam rumah dalam urusan repodusksi dan melakukan pekerjaan di luar rumah
dalam urusan produksi.
Pekerjaan rumah tangga tidak dinilai sebagai
pekerjaan karena alasan ekonomi semata dan akibatnya pelakunya tidak dinilai
bekerja. Hal ini perlu diperjelas bahwa posisi perempuan dalam pekerjaannya
sebagai ibu rumah tangga, padahal beban kerja ibu rumah tangga jauh lebih lama
dibandingkan dengan laki-laki yang bekerja di luar rumah.
Salah satu indikator yang dapat
menunjukkan peran serta perempuan dalam dunia kerja adalah meningkatnya permintaan
atas pekerja perempuan pada dunia kerja. Posisi perempuan di dunia kerja kini
mulai meningkat dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu. Meskipun jumlah
perempuan yang aktif lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Ini disebabkan
oleh peran perempuan yang tak kalah pentingnya dalam keluarga yaitu mengurus
rumah tangga.
DAFTAR
PUSTAKA
Andayani, Trisni. Perubahan Peranan
Wanita dalam Ekonomi Keluarga Nelayan di Desa Percut Kecamatan Percut sei Tuah
Kabupaten Deli Serdang . Makalah ini
disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII. Jakarta, 14-17 November
2006.
Clevess
Mosse, Julia. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Idriyani, Azazah. Pengaruh Konflik
Peran Ganda dan Stess Kerja terhadap Kinerja Perawat Wanita Rumah Sakit (Studi
Pada Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang. Semarang: PPs Universitas
Dipenegoro Semarang. 2009.
Ismoyowati, Dyah, dkk. Peranan Perempuan Dalam Ekonomi Keluarga
Ter-PHK Untuk Mengatasi Dampak Krisis, Dinamika Pedesaan dan Kawasan, Vol
2/02/2002
Rustiani, F., 1996, “Istilah-Istilah Umum
dalam Wacana Gender”, dalam Jurnal Analisis Sosial:
Analisis Gender dalam Memahami Persoalan Perempuan,Edisi 4/November 1996, Yayasan Akatiga,
Bandung.
El-Saadawi.
Wajah Telanjang Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Press. 2003.
Sudarta, I Wayan. 2000. Peranan
Pria dan Perempuan dalam Urusan Rumah Tangga. (Studi Kasus Desa Baha,
Kec.Mengwi, Kab.Badung). Jurnal Dinamika Kependudukan vol.II. no 1.th.2000.
Lembaga Penelitian UNUD. Denpasar.
Online: http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/mjlhsrikandiria.pdf
Thalib,
Muhammad. Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro U. 2007.
Umar,
Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-quran. Jakarta: Paramadina.
2001.
Women's multiple roles include his
role in the reproductive care of
housework and child care also has a productive role to
generate money to
help the family finances. But the
tendency of women to work raises many
implications, among others loosening of family
ties, increased juvenile delinquency and other implications.
Injustices that befall women will bring up the
perception that women are born
to do work that is much more limited in number with
low-status jobs with
low remuneration as
well. Women's work has been
generally limited to the household sector (domestic sector), although women
are now beginning to touch the work in
the public sector, even this type of work is
an extension of other jobs that require
more expertise.